Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review Film Bumi Manusia: 3 Jam Keindahan Bersejarah


Haruskah merayakan Bumi Manusia sebagai sebuah keindahan yang bersejarah? Apakah tangisan ini terjadi karena keindahan latar cerita yang ditampilkan oleh Pram dalam novelnya. Serta Hanung dalam filmnya.

          Atau justru tangisan ini merupakan tangisan klasik, ketika diam-diam, jiwa patriotik dan nasionalisme tergugah merasakan sakit karena ternyata Nusantara pernah mengalami periode kelam “menjadi tamu dan budak di tanah air sendiri”. Bahwa kolonialisme adalah rasa sakit yang amat mendalam bagi penduduk Nusantara, di masa lalu.

          Di masa lalu, orang-orang Pribumi masih belum mengerti bahwa mereka ditindas. Dan yang lebih menyakitkan, mereka para pejabat-pejabat pribumi hanya bisa bersekongkol dengan orang-orang Belanda demi jabatan dan kekuasaan. Seorang anak dijual bapaknya kepada orang Belanda, hanya demi karirnya. Itulah nasib sosok Nyai Ontosoroh.

          Barangkali air mata yang meleleh adalah air mata perpaduan. Antara mengagumi nilai-nilai cerita. Dan terbengong-bengong kagum melihat begitu hebatnya Hanung Bramantyo, para pemain dan crew dalam menghidupkan Bumi Manusia melalui sinematografi.

          Inilah film Nusantara… Inilah karya sineas Indonesia… Dan inilah kejeniusan sastra klasik yang berhasil dilucutkan secara asik pada layar lebar dan gelapnya bioskop yang akhir-akhir ini banyak disuguhi drama-drama horor, roman picisan dan komedi tak lucu belaka.

          Bumi Manusia, sebuah kisah yang merayakan Hibriditas sekaligus menolaknya. Sosok Minke  yang adalah seorang pemuda pribumi, Jawa Totok. Tapi lagaknya seperti orang Eropa. Memakai topi meskipun di dalamnya Blangkon.

          Dia lahir dari keluarga priyayi Jawa, tapi menolak “budaya Jawa” di masanya hidup karena dianggap sudah tercemar hukum-hukum kolonial. Ia memilih menjadi bebas, pergi berpetualang dengan pemikirannya dan sampai-sampai enggan pulang ke rumah orang tuanya.

          Minke adalah potret pemuda pribumi yang berusaha “meng-eropa-kan” dirinya agar tumbuh menjadi manusia yang rasional dan sadar akan kemajuan dan modernitas. Ia ingin menyerap nilai-nilai Eropa agar nantinya dengan nilai ini pula, ia akan menghacurkan kesewenang-wenangan kolonialiasme Belanda.

          Ia bersekolah di HBS dan mendapatkan dukungan orang tuanya yang keluarga bangsawan Jawa hanya demi jabatan residen Hindia-Belanda. Orang tua Minke menyetujui anaknya sekolah di sekolah khusus anak-anak Belanda totok dan Indo (campuran) karena berharap Minke alias Tirto akan menjadi bupati di masa depan.

          Tapi tentu, Minke sama sekali tidak bercita-cita jadi bupati. Ia memang suka berpenampilan layaknya pemuda Eropa. Tapi ia begitu benci pada hukum-hukum kolonial. Minke hanyalah seorang pemuja kebebasan dan penyuka ilmu pengetahuan. Ia ingin perbudakan dihapuskan, tidak ada yang diperintah dan memerintah. Manusia itu setara.

          Pada suatu hari, Minke bertemu dengan Annelies, seorang gadis Indo (keturunan Belanda dan Jawa Totok) yang lahir dari rahim Nyai Ontosoroh, seorang gundik. Kehidupan keluarga Annelies sangatlah kacau, apalagi semenjak bapaknya meninggal karena diracun. Annelies memiliki banyak trauma dalam dirinya.

          Minke jatuh cinta pada Annelies dan perasaannya ini didukung penuh oleh Nyai Ontosoroh. Ibunya Annelies ini juga memberikan stimulus pemikiran dan kesadaran yang luar biasa kepada Minke. Bahwa “menjadi orang Jawa” itu tidak selamanya tertindas. Ternyata masih ada “orang Jawa Totok” yang memiliki keanggunan, kecerdasan dan semangat perlawanan atas penindasan.

          Manusia menjadi pintar dan luhur budinya bukan karena ia sekolah atau lahir dari rahim Eropa. Tapi karena kemauannya untuk belajar. Meskipun fasih berbahasa Belanda, menikahi orang Belanda dan melahirkan anak-anak berdarah campuran. Nyai Ontosoroh adalah sosok dominan dalam keluarganya. Ia bisa mengendalikan suaminya yang selalu pulang dalam kondisi mabuk dan mengatur perusahaan. Ini membuat Minke sangat kagum pada sosok Nyai.

          Meski begitu, kekejaman hukum kolonial tetaplah memberantas segala suka cita di dalam film Bumi Manusia ini. Bahkan setelah Minke berhasil menikahi Annelies. Di mata hukum kolonial, pernikahan mereka tidak sah.

          Ada begitu banyak kejadian-kejadian ketertindasan yang diceritakan Pram melalui Bumi Manusia. Dan dalam filmnya, Hanung Bramantyo juga menggarapnya dengan sangat apik. Sehingga 3 jam filmnya terasa sangat indah.

          Bumi Manusia yang tayang di bioskop 15 Agustus 2019 kemarin adalah perayaan sastra, perayaan kemerdekaan, sekaligus perayaan perfilman Indonesia. Dan tak lupa untuk dikatakan bahwa Bumi Manusia adalah perayaan intelektualitas.

Post a Comment for "Review Film Bumi Manusia: 3 Jam Keindahan Bersejarah"