Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bukan Cuma Petir, Tapi Teriakan: Cerita Anak yang Mengubah Cara Kita Memandang Perbedaan

Bukan Cuma Petir, Tapi Teriakan: Cerita Anak yang Mengubah Cara Kita Memandang Perbedaan


CARIDUIT.ID - Di tengah gempuran konten digital cepat saji, sebuah kisah dongeng bergema kuat di media sosial dan ruang-ruang diskusi literasi anak. 

Judulnya sederhana: “Kerajaan Awan dan Anak Petir”. Namun isi ceritanya menggugah. Dongeng ini tidak sekadar memukau lewat kisah fiksi penuh imajinasi, tetapi juga menyentuh akar persoalan sosial yang relevan dengan kehidupan modern: kekuasaan, perbedaan, dan keberanian menyuarakan kebenaran.

Untuk kalian yang ingin tau banyak seputar dunia dongeng bisa kunjungi ceritadongeng.

Cerita ini, yang konon berasal dari naskah rakyat yang dimodifikasi untuk anak-anak generasi Z, membawa pembaca ke dunia di atas langit tempat “Kerajaan Awan” berada, sebuah negeri putih yang hidup damai dan teratur. 

Namun, kehidupan di kerajaan itu terancam oleh “Anak Petir”, makhluk langit pemberontak yang sering menyusup dan mengguncang dunia Awan.

Alih-alih sosok antagonis biasa, Anak Petir justru muncul sebagai simbol ketidakadilan. Ia bukan makhluk jahat, tapi makhluk yang terusir dari wilayah Awan karena berbeda bentuk dan suara. 

Ia bersuara keras, menggelegar, dan dianggap mengganggu ketenangan langit. Padahal, “guntur” yang ia hasilkan sesungguhnya adalah bentuk ekspresi dan seruan agar didengarkan.


Dongeng dengan Lapisan Makna

Dalam kajian literasi anak yang dilakukan oleh beberapa pegiat pendidikan di Jakarta dan Bandung, “Kerajaan Awan dan Anak Petir” dinilai sebagai dongeng yang mengangkat isu sosial dengan simbolisme kuat. 

Kerajaan Awan menggambarkan masyarakat homogen yang takut akan perbedaan. Sementara Anak Petir mewakili mereka yang disingkirkan karena dianggap tidak cocok dengan ‘standar’ umum.

“Ceritanya seperti dongeng klasik, tapi pesannya sangat kontekstual. Ini tentang bagaimana kita memperlakukan mereka yang berbeda dari kita,” ujar Ratih Wulandari, dosen Sastra Anak dari Universitas Negeri Jakarta.

Menurutnya, cerita ini bisa menjadi bahan ajar yang kuat, baik di ruang kelas maupun di lingkungan keluarga. Ia menyarankan agar orang tua dan guru tidak hanya membaca, tetapi juga mengajak anak-anak untuk berdiskusi. Siapa yang sebenarnya jahat? Apakah Awan benar dalam menyingkirkan Petir? Apa yang terjadi jika Awan mau mendengarkan?


Narasi yang Mengusik Refleksi

Salah satu kutipan dalam cerita yang paling sering dikutip netizen adalah: “Petir hanya terdengar menyeramkan bagi mereka yang tak pernah mencoba mendengarnya.” Kalimat ini viral di TikTok, dengan tagar #AnakPetir dan #KerajaanAwan, digunakan oleh para konten kreator untuk membahas isu inklusivitas, bullying, hingga toleransi.

Dalam salah satu video TikTok dengan lebih dari 500 ribu penonton, seorang guru di Surabaya membacakan cerita ini di kelas dan merekam respons siswa-siswanya yang haru. 

Banyak dari mereka merasa bahwa Anak Petir menggambarkan anak-anak yang suka menyendiri, berbicara keras, atau berpakaian berbeda dan sering kali jadi korban olok-olok.

“Saya menangis waktu baca ini pertama kali,” ujar Dini Aryasari, ibu dua anak yang membacakan kisah ini untuk anaknya. “Ini bukan cuma cerita. Ini pelajaran moral yang mengajak anak berpikir lebih dalam.”


Diangkat Jadi Drama Sekolah dan Komik Web

Popularitas cerita ini melebar ke berbagai medium. Di Yogyakarta, sebuah sekolah dasar bahkan membuat drama panggung bertema “Kerajaan Awan dan Anak Petir” sebagai bagian dari peringatan Hari Anak Nasional. 

Para siswa memerankan tokoh-tokoh awan seperti Putri Salju Embun, Raja Langit, hingga si Petir muda yang tersingkir dari negerinya.

Sementara itu, di platform digital, sejumlah seniman visual menggubah cerita ini menjadi komik web. Di Webtoon, cerita versi fan-art ini sudah dibaca lebih dari 150.000 kali, dan mendapatkan rating tinggi dari pembaca.

Salah satu ilustrator, Aksara Nurhaliza, mengatakan bahwa ia tertarik membuat versi komiknya karena merasa terhubung dengan sosok Anak Petir. “Saya juga sering dianggap ‘berisik’ atau ‘tidak cocok’ saat kecil. Cerita ini seperti memeluk anak-anak yang tidak pernah dianggap cukup,” katanya.

Relevansi dengan Dunia Nyata

Menurut psikolog anak Dr. Angga Wardhana, cerita semacam ini memainkan peran penting dalam membentuk empati dan pengertian sejak dini. “Ketika dongeng tidak hanya menyuguhkan fantasi tapi juga refleksi sosial, maka itu menjadi jembatan pembelajaran yang sangat kuat,” ujarnya.

Dr. Angga menambahkan, narasi seperti “Kerajaan Awan dan Anak Petir” dapat membantu anak memahami bahwa menjadi berbeda bukanlah kesalahan, dan bahwa suara yang keras tidak selalu berarti permusuhan—bisa jadi itu teriakan dari seseorang yang selama ini tak didengar.

Kesimpulan: Dongeng, Cermin Sosial Kita

Di balik narasi langit dan petir, “Kerajaan Awan dan Anak Petir” menyuguhkan refleksi tentang masyarakat kita. Tentang bagaimana sistem bisa mengabaikan suara-suara yang dianggap tidak nyaman. Tentang bagaimana perbedaan sering disikapi dengan pengucilan, bukan pemahaman.

Cerita ini berhasil meruntuhkan batas antara dongeng dan realitas, antara fiksi dan fakta sosial. Ia mengajarkan bahwa terkadang, suara paling keras adalah suara yang paling ingin dimengerti. 

Dan mungkin, kita semua di titik tertentu dalam hidup pernah menjadi Anak Petir.

Post a Comment for "Bukan Cuma Petir, Tapi Teriakan: Cerita Anak yang Mengubah Cara Kita Memandang Perbedaan"